bapa-para-yatim-dan-pelindung-para-janda
(Renungan dari Mazmur 68)

“Bapa bagi anak yatim dan Pelindung bagi para janda, itulah Allah di kediaman-Nya yang kudus; Allah memberi tempat tinggal kepada orang-orang sebatang kara,” (Mazmur 68:6-7a)

Semula Mazmur 66 bukanlah mazmur favorit saya, sebab syairnya berisi nyanyian syukur atas kemenangan perang. Ada bahasa militer didalamnya. “Allah bangkit, maka terseraklah musuh-musuh-Nya,” seru Pemazmur, mengutip perkataan Musa ketika orang Israel berperang sambil mengangkat tabut perjanjian (Bil 10:35-36). Musuh-musuh Israel digambarkan terserak-serak, binasa seperti asap atau seperti api yang meleleh. Kita jadi bertanya-tanya: mengapa Allah mengijinkan perang terjadi, bahkan terkesan membela salah satu pihak (umat Israel) dan membinasakan pihak lain? Apakah Allah berkenan terhadap solusi militer dalam menyelesaikan masalah antar bangsa?

Ketika mengamati lebih jauh, ternyata yang dimaksud dengan musuh-musuh Tuhan di sini bukanlah bangsa atau etnis tertentu. Tuhan tidak memihak kepada bangsa tertentu secara politik (misalnya: negara Israel modern). Ia tidak memiliki musuh politik. Yang dipandang sebagai musuh oleh Tuhan adalah siapapun yang menggunakan kekuasaannya untuk menindas dan menjadikan orang lain menderita. Perang selalu menghasilkan korban: ada tentara yang kehilangan nyawa. Anak-anaknya segera menjadi yatim. Istrinya mendadak menjadi seorang janda. Di jaman itu, hidup sebagai janda dan anak yatim susah dijalani. Tuhan menyatakan diri-Nya melawan mereka yang menyebabkan terjadinya kemalangan itu, namun berpihak kepada mereka yang menjadi korban perang. Ia menyatakan diri akan menjadi seorang Bapa yang merawat anak-anak yatim; menjadi Pelindung bagi para janda yang telah kehilangan suaminya; serta menjadi Pemberdaya bagi mereka yang menjadi sebatang kara tanpa memiliki apapun dan siapapun. Umat Tuhan sebagai kepanjangan tangan-Nya diajak untuk menghadirkan kebaikan Tuhan: “memenuhi kebutuhan orang yang tertindas” (ay.11).

Kita prihatin melihat perang masih berlangsung di berbagai tempat sampai saat ini. Bahkan agama masih sering dipakai untuk membenarkan terjadinya perang. Ketika perang Rusia-Ukraina Meletus setahun lalu, pemimpin Gereja Ortodoks Rusia menyatakan: “Kita telah memasuki perang yang bukan hanya signifikan secara spiritual, tetapi juga secara metafisikal.” Ia memandang perang itu sebagai pergumulan “bagi keselamatan kekal untuk etnik Rusia. ” Tentu saja pernyataan tersebut segera dikecam oleh pemimpin Gereja Ortokods Ukraina. Sementara Paus Fransiskus menyatakan: “Di dalam nama Tuhan, saya memohon: hentikan pembantaian ini.” Dengan tegas Paus menyatakan perang tersebut sebagai Tindakan agresi yang tidak dapat diterima dan tidak memiliki landasan agama. Tuhan tidak pernah bersimpati pada perang. Ia bersimpati kepada para korban perang. Begitu pula kita sebagai Gereja Kristus. Kita dipanggil untuk melakukan apa yang kita bisa demi meringankan penderitaan sesama dan membuka jalan perdamaian.

Pdt. Juswantori Ichwan

Renungan lainnya