Sudah setahun lalu kasus kematian Brigadir J menjadi perbincangan. Hampir setiap hari kita menonton, membaca dan mendengarkan berita, baik melalui media masa maupun media sosial. Berita terakhir, tersangka sudah ditetapkan oleh pihak kepolisian dan kronologi serta kejadian sebenarnya sudah diungkap bahwa keterangan sebelumnya tentang terjadinya tembak menembak adalah tidak benar.
Fakta yang ditemukan dan dinyatakan oleh pihak kepolisian adalah alm. Brigadir J ditembak. Pada mulanya para pihak yang terlibat dalam kasus kematian Brigadir J berusaha untuk menutup-nutupi peristiwa sebenarnya. Namun, kasus ini mencuat dan menjadi topik yang selalu diberitakan serta menjadi isu nasional oleh karena pihak keluarga alm. Brigadir J menuntut keadilan kepada pihak kepolisian untuk mengungkap kejadian sebenarnya. Presiden Jokowi pun meminta pihak kepolisian untuk mengungkap peristiwa tersebut dengan terbuka, mengusut tuntas, jangan ragu-ragu, jangan ada yang ditutup-tutupi, ungkap kebenaran apa adanya. Sikap presiden Jokowi terhadap kasus kematian Brigadir J yang kemudian ditindak-lanjuti oleh Kapolri dan jajarannya adalah demi menegakkan keadilan. Sikap tersebut merupakan pemberlakuan sila kedua Pancasila, yaitu Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Pada zaman Amos, keadaan Israel dan Yehuda bobrok. Terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan kekayaan untuk menindas mereka yang miskin dan lemah. Di mana-mana, ketidak-adilan dapat ditemukan dengan mudah. Di dalam Amos 5:7 dikatakan, “Hai kamu yang mengubah keadilan menjadi ipuh dan yang mengempaskan kebenaran ke tanah” menandakan bahwa kebenaran sulit untuk didapatkan. Umat Israel telah sedemikian jauhnya melenceng dari hukum Tuhan sehingga mereka juga berlaku munafik dan menempatkan ibadah mereka hanya sebagai hiasan semata.
Kemarahan Tuhan terhadap ketidak-adilan dinyatakan melalui sumpah-Nya bahwa Dia tidak akan pernah melupakan dosa-dosa Israel karena perilaku mereka yang tidak mengindahkan hukum Tuhan dan menindas kaum lemah dan miskin (Amos 8:7-8). Melalui pemberitaan Amos, kita memahami bahwa Tuhan menempatkan keadilan sebagai prioritas hidup yang melampaui ibadah dan upacara keagamaan. Tuhan tidak berkenan kepada mereka yang tidak berlaku adil karena ketidak-adilan merupakan salah satu hambatan dalam menciptakan kedamaian yang Tuhan kehendaki.
Ketidak-adilan membuat manusia tidak dilihat secara sama dan setara. Sebagai manusia ciptaan Allah yang Tuhan ciptakan sebagai makhluk mulia, sebagai gambar dan rupa Allah (Maz 8; Kej 1:26-27) kita dipanggil untuk menyatakan keadilan dan kebenaran serta menjalani kehidupan dengan beradab. Hidup beradab berarti kita memiliki kehalusan dan kebaikan budi pekerti dan budi bahasa yang baik serta berperilaku sopan dalam pergaulan. Kita memperlakukan orang lain dengan setara tanpa membedakan status sosial, pangkat dan kedudukannya. Sebagai warga kerajaan Allah dan warga negara Republik Indonesia secara bersamaan kita mewujud-nyatakan apa yang menjadi kehendak Tuhan melalui firman-Nya dan sila kedua Pancasila dalam keseharian hidup kita.
Dengan demikian, hidup yang adil dan beradab adalah hidup yang tidak merendahkan orang lain, tidak memandang muka dan tidak memperlakukan orang lain dengan semena-mena. Tidak mengabaikan hak-hak orang lain, baik hak asasi manusia maupun hak hidup sesame manusia yang Tuhan ciptakan dengan mulia serta berharga di mata dan di hadapan Tuhan. Oleh karena itu, jika sesama kita kedapatan melakukan kesalahan atau pelanggaran hukum dan kita dirugikan oleh perbuatannya, maka selesaikanlah dengan ketentuan hukum yang berlaku melalui proses pengadilan bukan dengan tindakan main hakim sendiri.
Pdt. Em. Iwan Tri Wakhyudi